Posts

Showing posts from 2010

Berbanggalah dengan Tim Nasional Kita

Bicara tentang dakwah kampus hari ini sudah tak lagi menjadi minat. Mungkin sudah karena bosa atau jenuh dengan segala macam derivatnya. Mungkin juga karena sudah merasa cukup dewasa sehingga urusan "latihan" seperti itu bukan lagi persoalan. Atau juga mungkin karena mihwar yang sudah bergeser. Apapun itu, semoga saja ini tidak mengurangi kecintaan kepada perjuangan dakwah yang sebenarnya. Dakwah yang tak mengusung nama parlemen, kampus, siyasi, fardhiyah, atau yang lainnya. Cukup dakwah saja. Begitu lama blog ini terbengkalai, hingga akhirnya menemukan kembali momennya saat akhir Piala AFF tahun ini. Ya, seperti yang sudah dimaklumi hampir semua pembaca, Indonesia untuk yang keempat kalinya gagal membawa Piala AFF setelah sampai ke final. Mirip seperti rekam jejak Belanda yang berulang kali mencapai babak final Piala Dunia tanpa pernah menjadi pemenang. Semoga itu bukan karena Indonesia adalah bekas jajahan Belanda. Hehehehe. Sepakbola tanah air memang menyajikan begitu

Kekurangan dalam dakwah kampus

"Tak ada gading yang tak retak..." Sungguh sebuah kemuliaan akan hadir bersama peningkatan kualitas, baik itu organisasi, maupun diri pribadi. salah satu syarat agar dapat terus meningkatkan kualitas diri adalah dengan memperbaiki kekurangan yang ada. Dan sebuah kekurangan tak akan pernah diperbaiki jika eksistensinya tak pernah diakui. Maka orang-orang yang bijaksana adalah orang yang gembira saat ada orang lain yang memperingatkan kekurangannya. Sebagaimana yang dilakukan Umar ibn Khattab yang bertahmid saat seorang sahabatnya mengancamnya akan meluruskannya dengan pedang saat Umar keliru. Begitulah cerminan manusia teladan. Akan sangat sayang sekali jika kemuliaan yang bisa diraih diraibkan begitu saja dengan menganggap diri sudah benar segala-galanya. Menolak mengakui kekurangan apalagi sampai kemudian berbalik menentang orang yang menasehati, sungguh bukanlah sebuah perilaku yang rabbani. Maka heranlah ketika seseorang mengaku dirinya aktivis dakwah namun resis

Bicara tentang konservatisme

Konservatisme dan fundamentalisme seringkali dijadikan kambing hitam atas banyak kejadian tak mengenakkan yang menimpa ummat init. Para teroris yang "kebetulan" beragama Islam dan mengatasnamakan "perjuangannya" dengan Islam selanjutnya dkaitkan dengan dua istilah di atas. Tidak cuma itu, dua isme tersebut kemudian didudukkan berhadap-hadapan dengan liberalisme atau modernisme seolah kedua isme baru itu lebih layak menggantikan dua isme sebelumnya. Ya, konservatisme dan fundamentalisme vs liberalisme dan modernisme. Agak sulit memang jika berusaha membahas lebih jauh tentang kata dengan isme-isme tertentu saat tidak jelas apa maksud isme itu sebenarnya. Merujuk pada pemahamannya Mas "Wiki", konservatisme adalah ideologi yang cenderung mempertahankan status qou sebuah tradisi atau kebiasaan. Tak jauh dengan itu, fundamentalisme adalah ideologi untuk kembali kepada akar atau dasar pemikiran yang melandasi terbentuknya sebuah paham. Sebaliknya, liberalisme

Hati berhati-hati, mulut berbicara

Ini tentang salah satu fragmen keseharian tentang bangun subuh... "Dasar tukang molor, sholat subuh jam setengah 6...", begitulah kira-kira makna tatapan Tono terhadap Aldi, teman sekosannya di sebuah rumah kos-kosan. Seperti halnya orang-orang sholeh lainnya, Tono kerap bangun pagi untuk sholat subuh berjamaah di masjid. Seringkali didahului oleh aktivita sholat tahajjudnya sebelum itu. Sebaliknya Aldi, teman satu daerah yang sudah dikenalnya sejak tingkat satu itu terbiasa bangun kesiangan. Rata-rata sholat subuhnya jam setengah 6, ketika matahari sudah mulai nampak di ufuk timur. Aldi memang doyan tidur agak larut malam. Biasanya sih nonton film di TV dulu sebelum tidur. Film koboi, perang, spionase, aksi laga, dan sebagainya. Pagi itu seperti biasa, Aldi bangun kesiangan lagi. Tanpa melirik kanan kiri, ia langsung loncat ke kamar mandi. Berwudhu dan langsung sholat subuh. Melihat itu, Tono yang baru pulang dari masjid cuma menggeleng-geleng. Entah sudah berapa pagi,

Menyoal Cara Kita Berpenampilan

“Penampilan itu bukanlah yang utama, tapi yang pertama...” Hal yang sering dikatakan orang saat melakukan penilaian terhadap orang lain adalah, “jangan lihat orang dari kulit luarnya, tapi lihatlah dalam hatinya...”, begitu kira-kira. Pernyataan tersebut seringkali diperkuat dengan beberapa fakta yang terjadi di lapangan. Banyak kasus penipuan ternyata dilakukan oleh orang-orang yang secara fisik, tampil baik, alim, dan sholeh. Dalam hal ini penampilan dijadikan alat untuk meredam kecurigaan psikologis calon korban. Contoh yang lain, banyak yang tidak menyangka bahwa bupati sebuah kabupaten di Sumatera Utara ternyata orang yang kesehariannya tampil sederhana dan selalu membawa sendiri mobilnya. Tak jarang, bupati tersebut disangka sebagai sopir Bupati! Namun demikian, ada perihal kontraproduktif yang pada akhirnya muncul dari anggapan yang tidak proporsional terhadap pernyataan di atas. Kasus-kasus tersebut seringkali malah dijadikan sebagai alat legitimasi bagi sebagian oran

Menikmati Kerja Keras

Banyak orang yang sudah mengetahui bahwa kerja keras dan kesuksesan selalu berbanding lurus. Tak ada orang sukses yang tidak melalui sebuah koridor yang bernama kerja keras. Namun, meski banyak orang yang tahu, barangkali tak sebanyak itu orang yang bersungguh-sungguh melakukannya. Hal itu bisa karena berbagaia alasan. Kehilangan waktu, perasaan tak enak, meninggalkan zona nyaman, opportunity cost yang terlalu mahal, atau hal lainnya yang bisa diterka. Dalam kehidupan manusia, alasan-alasan tersebut tampak wajar. Itulah mengapa kesuksesan masih dianggap sebagai sesuatu yang istimewa. Istimewa karena ia langka, dan tak banyak yang mendapatkannya. Setidaknya menurut ukuran manusia.

Atas Nama Dakwah (3)

A:"Mas, apakah aktivis tarbiyah boleh punya afiliasi dengan parpol tertentu?" X:"Boleh Dik" A:"Lalu apakah itu menjadi keharusan?" X:"Tentu saja tidak. Memangnya kenapa Dik, kok bertanya kayak gitu?" A:"Saya melihat ada perlakuan istimewa yang diberikan pada mereka yang punya afiliasi ketimbang yang tidak" X:"O...itu cerita lama sih dik (sambil tersenyum). Tapi Adik tentu saja ingin beraktivitas dengan ikhlas kan ?" A:"Iya Mas" X:"Maka jangan biarkan anggapan itu mempengaruhi aktivitas Adik" A:"Iya Mas, tapi kan itu sesuatu yang nggak fair Mas" X:"Tentu saja, tapi biarkanlah Alloh membalas keburukan dengan keburukan. Kita jangan ikut-ikutan" A:"...."

Atas Nama Dakwah (2)

Adakah kebenaran yang memihak? Bagiku kebenaran tak memihak siapapun kecuali dirinya sendiri... Tidak sedikit orang di dunia ini yang terjebak pada stigma kebaikan ataupun kebenaran. Sebuah kebenaran mutlak dinilai hanya satu-satunya di muka bumi, dan tidak ada kebenaran yang lain setelah itu. Sesungguhnya ini sebuah pernyataan yang umum dan memang tidak ada yang salah dengan itu. Kebenaran yang sifatnya relatif atau nisbi pada hakekatnya bukanlah sebuah kebenaran. Dan satu-satunya perihal mutlak yang dapat memberikan "fatwa" bahwa sesuatu hal adalah sebuah kebenaran adalah Alloh swt. Wajar, karena Alloh swt hanya memberikan satu standar. Berbeda dengan makhluk yang seringkali multi standar. Yang selanjutnya menjadi masalah adalah perihal stigmatisasi sebuah hal menjadi sebuah kebenaran. Stigmatisasi tersebutlah yang terkadang menjebak. Berbicara dalam konteks sebuah gerakan, katakanlah gerakan dakwah, perihal stigmatisasi macam ini cukup mudah ditemui. Tak jarang orang

Atas Nama Dakwah

Tidak terasa perjalanan studi S1 di tanah seberang sudah mencapai zona ujung. Sedikit lagi dan gelar sarjana akan melekat di belakang nama. Bersama dengan perjalanan itu, tak sedikit pengalaman berharga telah dilewati. Dan satu dimensi pengalaman yang tak terlupakan adalah pengalaman bersama kegiatan dakwah kampus. Keterlibatan dalam aktivitas dakwah itu bermula dari semangat muda sekaligus keinginan untuk memenuhi amanat masyarakat kampung, menjaga diri dari fitnah dunia. Dengan diawali kondisi yang awam dan sederhana, dimulailah sebuah perjalanan yang tidak bisa dibilang sederhana. Kegiatan pengajian serta aktivtas lainnya yang diselenggarakan oleh aktivis masjid cukup menarik untuk diikuti. Dan tidak ada salahnya memang untuk diikuti. Hingga kemudian, sosok sederhana itu sudah cukup berilmu dan sedikit lebih mengerti mengenai dunia pergerakan dakwah. Dakwah yang pada hakekatnya tidak layak hanya dimaknai sebagai ceramah satu arah, mulai menunjukkan eksistensinya. Khususnya di k

UN Kembali ke Tujuan

Seyogianya pendidikan tidak dimaknai sekedar kemampuan siswa menyelesaikan soal-soal kognitif akademis di atas kertas belaka. Tapi lebih jauh dari itu, membentuk kepribadian yang matang baik secara intelektual, emosional, dan spiritual yang tergambar dari sikap hidup sehari-hari. Pembahasan mengenai pendidikan Indonesia erat kaitannya dengan pembahasan sistem evaluasi yang telah dipakai bertahun-tahun dan tak lepas dari kontroversi, UN atau Ujian Nasional. Sebabnya metode evaluasi untuk melihat hasil proses pembelajaran siswa selama 3 tahun merepresentasikan orientasi yang berakar dalam pola pendidikan itu sendiri. Berkaca dari mekanisme UN yang sudah-sudah, soal UN meliputi empat bidang ilmu yakni Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Bentuk soalnya adalah pilihan berganda yang terdiri dari 50 soal. Siswa yang dinyatakan layak lulus adalah siswa yang mampu menjawab dengan benar setidaknya 55% dari soal yang diberikan. Kurang dari itu, satu kata un

Liga Champion yang Indah

Sepakbola itu indah. Barangkali itulah pernyataan yang cukup relevan dikemukakan melihat melimpah ruahnya penggermar sepakbola, tidak hanya di negeri ini tetapi juga di seluruh dunia. Ya, keindahan itu tidak semata-mata urusan menang atau kalah. Keindahan itu bisa datang dari cara para pemain beraksi di lapangan, bisa juga dari berbagai macam puak dan analogi yang bisa ditarik dari permainan sepakbola. Saat tulisan ini dibuat, musim Liga Champion 2010 sedang panas-panasnya. Beberapa tim papan atas dunia bertarung merebut tahta piala kebanggaan klub sepakbola Eropa itu. Intermilan, Lyon, Bordeaux, MU, Arsenal, Bayer Munich, dan Barcelona. Ada banyak kejadian menarik yang bisa dijadikan ibroh sekaligus membuat diri tersenyum atas keindahan yang atas izin Alloh terjadi. Salah satu fragmen umum yang biasa terlihat adalah kemenangan di awal bukanlah kemenangan sesungguhnya. Bola itu bundar, dan ia bisa menggelinding kemanapun. Begitu kira-kira kaidahnya. Saat MU bertemu Bayer Munich pa

Rakyat Awam berbicara Hukum

Beberapa waktu yang lalu terkuak sebuah kasus yang mengindikasikan nyatanya mafia peradilan. Sebuah mekanisme yang disinyalir ada sejak lama, bahkan menjadi rahasia umum, mau tak mau memperlihatkan wajahnya. Hakim sebagai sosok yang (diharapkan) bijaksana, tertangkap tangan menerima suap dari seorang jaksa. Bisa dianggap mereka yang ketahuan saat itu adalah mereka yang sedang apes. Ibarat gunung es, mungkin ada banyak hal serupa yang belum muncul ke permukaan. Inilah potret gelap lembaga penegak keadilan di Indonesia. Keadilan menyusut seperti minyak bumi, semakin sulit dicari , dan "harga"nya pun kian membumbung tinggi. Keadilan versi masyarakat dan versi 'mereka' tidak lagi punya kesamaan definisi. Tidak heran kemudian masyarakat apatis dengan hal yang satu ini. Suatu ketika saat pihak yang berwajib hendak mengurus suatu perkara yang membutuhkan kesaksian masyarakat di pengadilan, tidak jarang masyarakat lebih memilih menghindar. Begitupula saat masyarakat terzal

Adaptasi Realita

Saat memilih untuk mendaftarkan diri menjadi seorang surveyor, ada proyeksi yang diharapkan terjadi di masa depan. Konsekuensi berupa uang imbalan cukup menggiurkan, ditambah lagi pengalaman interaksi sosial langsung yang didapatkan. Target responden yang dirasa memadai dengan kemampuan saat itu, membuat tidak ada surutnya niat untuk bergabung bersama para surveyor lainnya. Dan sejak saat itu, dimulailah masa-masa pembelajaran. Langsung, fresh from the oven. Begitulah kira-kira. Realisasi yang terjadi di lapangan, bisa iya, bisa tidak, membuat perlu adanya penyesuaian rencana di sana-sini. Terkadang ada kenyataan yang baru bisa terpikirkan ketika itu sudah terjadi. Di satu waktu, kenyataan seperti itu terlambat disadari tapi di banyak waktu lainnya kenyataan seperti itu membuat otak memikirkan langkah antisipasi. Ada saat di mana target responden, mekanisme pengisian kuisioner, hingga kondisi kultural masyarakat menjadi penghambat untuk tercapainya rencana. Di sisi lain, ada opportun

My Name is Khan : Sebuah Tanggapan

Bisa dihitung dengan jari tayangan televisi berbentuk film yang memaparkan tentang kehidupan kaum muslimin pasca tragedi 9 11. Lebih mencengangkan lagi ketika hal tersebut muncul dari sebuah film India, yang sudah 'kadung' memiliki stereotype cenderung menampilkan sisi-sisi hedonis manusia. Secara tersirat sebuah genre baru pun muncul di perfilman Bollywood dengan hadirnya film My Name is Khan yang dibintangi Shahrukh Khan dan Kajol.

Pengemis dan Problematika di Ibukota

Salah satu episode acara John Pantau di salah satu stasiun TV berkisah mengenai para pengemis. Para pengemis yang kerap 'berkeliaran' di ibukota dan menunjukkan penampilan memelas ternyata tidak sungguhan. Seorang Bapak yang memperlihatkan penampilan kakinya yang buntung, ternyata tidak sungguh-sungguh buntung. Begitu pula dengan seorang paruh baya yang memperban kakinya seolah mengalami kecelakaan. Seolah menjadi kata yang tepat karena kaki tersebut sama sekali tidak terluka. Berdasarkan pengakuan mereka sendiri dalam acara tersebut, rekayasa penampilan tersebut memang sengaja ditunjukkan sebagai katalis profesi mereka. Ya, mereka memanfaatkan rasa iba orang lain untuk memperoleh untuk yang lebih besar. Penderitaan cenderung mendatangkan rasa iba bukan?

Empat Masalah dalam Berdebat

Sebuah artikel di salah satu situs berita nasional ramai oleh komentar, baik yang pro maupun yang kontra. Artikel tersebut berbicara mengenai tindakan MUI salah satu daerah yang melarang perayaan Valentine Day 14 Februari karena alasan tertentu. Dari beberapa komentar yang diutarakan, tersirat ada semacam rasa sebal dari beberapa pihak mengenai kerja MUI yang kerap mengharamkan ini itu. Salah satu komentar berkata bahwa MUI adalah lembaga yang diisi orang-orang 'muna' alias munafik. Komentar lainnya menunjukkan kegeramannya dengan menantang MUI untuk mengharamkan celana, facebook, dll. Ada juga komentar yang tidak nyambung, mengait-ngaitkan kerja MUI dengan teroris, ummat Islam yang nggak toleran, dan lain sebagainya.

Agama ibarat Oksigen

Ada beberapa fragmen yang menarik dari novel Negeri 5 Menara karangan Ahmad Fuadi. Salah satu fragmen menarik tersebut adalah sistem pengajaran agama (dalam hal ini Islam) yang diterapkan di pondok Madani. Pendidikan agama di sana tidak semata membaca kitab kuning di masjid, tabligh akbar dan semacamnya, tapi lewan disiplin dan perilaku keseharian di dalam Pondok Madani. Sebuah istilah mengutarakan bahwa Islam itu ibarat oksigen dalam kehidupan yang tidak bisa lepas, dibutuhkan, dan berada di sekitar manusia.

Tidak Menyepelekan Injustice meskipun Kecil

Suatu ketika seorang mahasiswa terkejut melihat nilai akhir suatu mata kuliah yang diambilnya. Di papan pengumuman tertera nilai 65 masing-masing untuk nilai tugas dan nilai ujian akhirnya. Terkejutnya mahasiswa tersebut bukan tanpa alasan. Pertama, tidak pernah ada UAS yang diselenggarakan untuk mata kuliah tersebut. Jika ada, nilai langsung diambil dari tugas akhir yang memang dibebankan kepada setiap mahasiswa. Kedua, terkejut karena nilai 65 itu adalah nilai keramat di tengah rentang nilai teman-temannya yang rata-rata 80. Ia tidak pernah merasa terlambat mengumpulkan tugas sebagaimana ia juga berjuang sama kerasnya dengan teman-temannya yang lain dalam penyelesaian tugas itu. Singkatnya, ia merasa tidak layak memperoleh nilai sekecil itu untuk effort yang sudah dikeluarkannya.

Do the Talk

Teringat masa ketika SD dulu ditanya tentang apa gunanya tangan, apa gunanya kaki, atau apa gunanya mulut. Sebagian besar jawaban tentu jawaban polos yang keluar dari pikiran seorang anak kecil. Tangan untuk memegang, kaki untuk berjalan, dan mulut...untuk makan. Dengan pikiran yang semakin berkembang, wawasan yang semakin terbuka, dan pengalaman yang semakin matang, ada pemahaman yang semakin baik pula mengenai fungsi anggota-anggota tubuh kita. Kaki misalnya, tidak hanya untuk berjalan tetapi juga untuk menendang musuh dalam kyorougi Taekwon Do. Semuanya bisa kita gunakan untuk banyak sekali hal, dari mulai yang positif, yang netral, sampai yang negatif.

Bertarung dengan Bara Api Sendiri

Nafsu diri bisa kita analogikan sebagai bara api. Ya, dalam tumpukan sekam yang tidak terlihat namun membakar. Bila ada bara api yang tak pernah kunjung padam maka nafsu lah bara api itu. Bara api itu akan menjadi sebuah anugerah ketika berada di bawah kendali kita. Sebaliknya, permasalahan akan terjadi ketika kitalah yang berada di bawah kendalinya. Dengan demikian, perlu ada perjuangan agar kita senantiasa berada di atas hawa nafsu kita sendiri.

Menyoal Tae Kwon Do satu versi

Taekwon Do, beladiri asal Korea kerap diklaim sebagai beladiri dengan peserta terbanyak di dunia dibandingkan dengan beladiri yang lainnya. Preferensi masyarakat terhadap beladiri yang menekankan pada tendangan ini bisa saja berasal dari unsur seni yang ditunjukkan dalam gerakannya. Kita bisa menyaksikan banyak video yang memperlihatkan keindahan tersebut. Tanpa tendensi sama sekali untuk menganaktirikan seni bela diri yang lain, cukup pantas ketika Taekwon Do dikatakan sebagai seni bela diri yang keren. Itu jika dilihat dari satu aspek. Jika dilihat dari aspek lain, ternyata seni bela diri ini memiliki beberapa permasalahan tersendiri. Mereka yang mengenal dunia bela diri kemungkinan besar tahu mengenai dua stream besar Tekwon Do sekaligus organisasi besar bertaraf dunia yang menaunginya. ITF (International Taekwon Do Federation) dan WTF (World Taekwon Do Federation). Kedua organisasi ini sama-sama organisasi Taekwon Do namun mencerminkan beberapa sisi yang berbeda. Selaras dengan

Dag Dig Dug

Masih terbayang perasaan dag-dig-dug beberapa waktu yang lalu ketika nilai-nilai UAS terakhir kuliah diumumkan. Terlepas dari IPK yang kata orang sudag aman, tetap sah-sah saja kita punya target sendiri yang seyogianya berada dalam tingkat premium. Dan ketika itu pula terbayang situasi ketika kelak di padang mahsyar...subhanalloh. Pengumuman nilai duniawi yang mungkin berbobor 'seucrit' saja sudah membuat hati was-was, apalagi dengan pengumuman nilai yang statusnya mahapenting, jauh lebih berbobot daripada dunia seisinya. Nilai yang menyangkut takdir ending life kita, heaven or hell (naudzubillah). Belajar dari dua situasi di atas setidaknya kita bisa belajar untuk lebih proporsional dalam hidup. Ada orang yang mati-matian mencari nilai duniawi, lintang-pukang, bahkan terkadang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya sendiri sementara bobot dari nilai itu terlalu kecil. Di sisi lain, ada orang yang dengan santainya melewatkan kesempatan-kesempatan berharga

Tulisan tentang ACFTA

ACFTA atau Kesepakatan multi regional antara ASEAN dan Cina dalam pengadaan kawasan bebas perdagangan menuai kontroversi yang cukup beralasan. Dipandang dari sisi konsumen, hal tersebut memberikan dampak positif karena alternatif produk akan bertambah, harga barang menjadi cenderung lebih murah, dan konsumen bisa dengan lebih leluasa memilih barang dengan kualifikasi yang diinginkan mereka. Namun ternyata tidak demikian halnya ketika dipandang dari sisi produsen. Meskipun dampak positifnya produsen dalam negeri akan termotivasi untuk memperbeiki kinerja perusahaannya, kebanyakan produsen lokal masih dinilai belum siap untuk itu. Dampak positif itu dikhawatirkan terkonversi menjadi negatif menjadi kekalahan telak dalam persaingan dagang... wallohua'alam bishowab. Yang jelas, yang menjadi kunci di sini adalah kekuatan produsen dalam negeri untuk bertahan dalam persaingan semi global (ASEAN-Cina). Ibarat kyorougi dalam TaekwonDo, masing-masing partisipan harus punya strategi untuk

Lapang Hati Pilihan Hidup

Hari ketika tulisan ini dibuat, seorang teman sedang berulang tahun. Subhanalloh, 'inbox' di facebook beliau penuh dengan ucapan selamat ultah, kalimat-kalimat penyemangat dan sejenisnya. Dari sana orang yang melihat sudah agak mafhum bahwa si empunya yang ulang tahun ni adalah sosok yang cukup luwes, punya bergaulan luas, dan cukup dihargai dalam pergaulannya. Alangkah bahagianya menjalani kehidupan dunia dengan kondisi seperti itu. Di sisi lain teringat sebuah film bertajuk GIJOE. Meskipun sudah agak lawas, tapi masih cukup menarik untuk ditonton. Bagian yang sedikit berhubungan dengan tema tulisan ini adalah fragmen tentang masa kecil si 'ninja putih' yang hidup dalam iri dengki dan dendam pada orang lain. Ya, mirip kisah putra Nabi Adam as yang karena dengki, berujung pada keputusan sadis, membunuh orang lain. Dunia di pandang dari satu sisi mirip seperti koin yang punya dua wajah. Ada kabaikan dan ada keburukan. Ada terang dan ada pula gelap. Ada kegembiraan s

Solidaritas para Pengecut

Saat tulisan ini dibuat, kabar yang sedang menghangat adalah tentang kerusuhan yang dilakukan oleh massa sepakbola yang menyebut diri mereka 'bonek'. Ya, kehormatan arek-arek Suroboyo yang terbangun dan menginspirasi jutaan kaum muda Indonesia sekarang saat dengan gagah beraninya mempertahankan tanah Surabaya dari gempuran Sekutu, dilecehkan begitu saja dengan tindakan anarkis yang sama sekali konyol. Alkisah kekonyolan itu dimulai ketika mereka kecewa dengan hasil pertandingan yang melibatkan tim Persebaya kesayangan mereka. Mereka kemudian melampiaskan kekesalannya dengan menjarah stasiun dan merugikan warga setempat (Solo) termasuk para pedangan asongan. Bentrokan pun tak dapat dihindarkan, dan akhirnya pertunjukan 'tantrum' itu pun muncul. Bukan satu-dua kali para 'bonek' menimbulkan keributan. Selama ini kerusuhan kerap terjadi dan didalangi oleh kelompok masyarakat yang sama itu, Bahkan para pedangan di jalur stasiun seperti di Madiun sudah mafhum bah

Bangsa dengan Manusia Besar

Judul di atas tentu tidak bercerita tentang perjalanan Gulliver di negeri para liliput. Judul di atas adalah harapan yang saya yakin tidak hanya menjadi harapan saya, tetapi juga jutaan manusia lain di negeri ini. Kenapa bangsa ini tidak pernah besar? bandingkan dengan Malaysia yang dari segi waktu merdekanya lebih muda daripada kita. Konon lagi dengan Jepang yang pada zaman 45 sama-sama negara yang bankrut; Indonesia karena baru merdeka dan Jepang karena kalah perang dunia II. Pertanyaan di atas sudah seperti pertanyaan klise, yang dari zaman ke zaman, sekolah ke sekolah, pembicaraan ke pembicaraan terus dilontarkan tanpa kemudian disadari apa efek dari membawa pertanyaan tersebut keliling dunia. Jawaban dari pertanyaan tersebut menjadi penting. Dan memang begitu selayaknya. Ada beberapa jawaban yang beredar. Bahkan pembaca sekalian bisa memiliki jawaban tersendiri. Ada yang mengatakan bahwa hal tersebut dikarenakan kultur dasar negeri yang menjajah. Ada juga yang mengatakan bahw

Pekerjaan dengan Tujuan

Kata-kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa apa pun itu setidaknya terdiri dari kata kerja, kata, benda, dan kata sifat. Dan seperti menjadi suatu hal yang berlaku umum, setiap kata kerja pada umumnya akan mejadi predikat dari subjek yang dilekatinya. Begitu pula dengan kita, manusia. Predikat yang pantas kita dapatkan akan sangat terkait dengan kerja kita, aktivitas kita. Semakin berharga pe'kerja'an kita, semakin berharga pula predikat kita, yang juga berarti semakin beharga nilai diri kita. Banyak manusia yang terlupa tentang kerja yang telah, sedang, dan akan mereka lakukan. Lupa tentang nilai pekerjaan mereka yang sesungguhnya memberi nilai pada diri mereka. Ada orang yang menghabiskan waktunya nongkrong di depan TV, kongko-kongko di jalanan, mal, atau pusat-pusat hiburan untuk sekedar menghabiskan waktu. Bila didaftar pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan 'hanya' sekedar untuk menghabiskan waktu, mungkin akan penuh buku tulis berisi 100 lembar. Satu hal yang

Revival Era

Seperti halnya blog ini, segala sesuatu yang tertidur tidak boleh selamanya tertidur. Selama ia adalah bagian dari dunia, eksistensinya di dunia tidak-bisa tidak, mesti berarti. Sekecil apa pun itu. Bahkan cacing-cacing di tanah dan bakteri nitrosomonas pun memberikan manfaat dari kehadirannya di dunia ini. Seseorang tidak bisa memberikan apa-apa jika ia terus tertidur dalam 'gua'nya terus menerus So, it's time to wake up! This is Revival Era