Mencintai hidup

Mencintai Hidup

Hidup adalah pilihan,
dan hidup terlalu singkat untuk dilewati bersama pilihan yang salah.
(Duta, dalam film “Tak Biasa”)

Jika ada kata yang hingga saat ini orang-orang belum bisa mendefinisikan dengan jelas maknanya, kata yang senantiasa menjadi bahan pembahasan yang tidak pernah kering, kata yang seringkali menjadi tema sentral dari alasan terjadi dan tidak terjadinya sesuatu, mungkin kata ‘cinta’ adalah kata yang paling cocok memenuhi kriteria ini. What is the meaning of love anyway? Berbagai macam jawaban pun muncul. Beragam. Dan tak ada satu konsorsium atau pun syuro yang menyepakati jawaban-jawaban yang muncul itu. Tapi tak jadi soal, toh tanpa tahu definisi sebenarnya, kita tetap bisa mencintai bukan?

Dari banyak definisi tentang cinta, kita tetap bisa mengambil satu benang yang tidak ada keraguan padanya. Dengan kata lain, ada inti yang selalu ada dari setiap definisi yang diberikan. Cinta, bisa diartikan sebagai kecenderungan atas sesuatu. Itu jika cinta dianggap sebagai kata sifat. Tapi ternyata cinta lebih dari itu. Cinta juga dapat berfungsi sebagai kata kerja yang sifatnya aktif. Artinya, cinta bisa juga dartikan sebagai sebuah sikap.

Jika melayang pertanyaan pada kita, “apakah kau mencintai hidupmu?”, mungkin sebagian kita menganggap ini sebagai salah satu pertanyaan paling konyol yang pernah ditanyakan manusia di muka bumi. Tapi bagi sebagian yang lain, pertanyaan ini bisa jadi dianggap sebagai pertanyaan mendalam yang penuh makna-makna melankolis,(cie..). Sahabat tahu jembatan emas (Golden Gate) yang ada di San Fransisco, AS? Ya, salah satu jembatan terpanjang di dunia. Konon, banyak manusia frustasi yang nekat mengakhiri kehidupannya di sana dengan cara terjun langsung dari atas, ke aliran sungai yang deras dan dalam, tanpa tali bungee, tanpa gantole, dan tentu saja tanpa parasut. Mereka tidak sedang shooting film aksi. Tujuan mereka cuma satu. Bunuh diri.

Bunuh diri adalah satu ekspresi paling pengecut dalam hidup. Seseorang begitu pesimis sehingga berbagai kenangan atau masa lalunya dan masa depannya yang berharga tak lagi ia hargai. Ia hanya berpikir short-term, bahwa segala sakitnya akan hilang, kehormatannya akan terjaga, dan segalanya akan menjadi baik-baik saja, ketika ia mati. Ia menolak mengambil tanggung jawab atas apa yang ia alami atau apa yang telah ia lakukan. Ia tak lagi mencintai hidupya. Tapi sungguh sahabat, masalah mencintai hidup bukan hanya persoalan mati bunuh diri atau tidak. Orang-orang yang kehilagan jat dirinya, memutuskan untuk hidup di dunia hitam, nge-drugs, free seks, atau menjadi komunitas anti-kemapanan juga termasuk sikap yang tidak mencintai kehidupannya. Mereka megorbankan hidupnya yang berharga untuk sesuatu yang tidak seberapa dan sifatnya cuma sementara. Kebebasan semu. 

Sahabat, mencintai hidup adalah soal menghargai diri kita sendiri. Ketika kita menjadi victim dalam acara ‘uang kaget’, diberikan modal 10 juta untuk dibelanjakan selama 30 menit, pasti kita berpikir untuk menghabiskan sebanyak mungkin uang yang diberikan dan meminimalisir sisa uang yang nantinya akan diambil kembali oleh Mr Easy Money. Tapi ironisnya, terkadang kita menjadi lupa bahwa kita tidak melakukan hal yang demikian pada kehidupan kita. Bila waktu hidup kita dapat diibaratkan dengan uang yang diberikan, mungkin kita lebih sering memilih untuk melewatkan waktu-waktu tersebut dengan aktivitas yang kurang atau bahkan tidak produktif. Kita merasa pantas menyisakan waktu-waktu kita untuk ‘diambil kembali’ hanya karena beranggapan besok kita akan diberikan waktu lagi. Padahal, meskipun Amrozi dkk sudah divonis hukuman mati, bisa jadi yang wafat terlebih dahulu itu kita. Mencintai hidup berarti menyadari bahwa setiap waktu yang melintasi kehidupan kita harus disikapi dengan sikap yang sebaik mungkin. 

Mencintai hidup adalah juga soal kontribusi. Teman-teman penggemar serial Detektif Conan mungkin sedikit akrab dengan pernyataan Heiji Hattori, detektif dari Kansai yang mengatakan,”Hidup ini berharga karena ada batasnya”. Ya, prinsip ekonomi sederhana juga mengatakan bahwa semakin terbatas sumber daya, semakin meningkat pula nilai ekonominya. Ketika kita menyadari bahwa kita tidak hidup selamanya, kita layak untuk berfikir bagaimana agar hidup kita yang sekali-kalinya ini punya arti. Keberadaan kita di dunia ini bukanlah tanpa makna. Dan hidup kita terlalu picik saat dihabiskan cuma sekedar untuk kita sendiri, padahal hidup kita benar-benar berharga. Orang-orang yang mencintai hidupnya akan berpikir bagaimana caranya untuk bermanfaat untuk orang lain. Oya, teringat juga dengan petuah Pak Hafran pada Laskar Pelangi beberapa waktu sebelum beliau wafat, “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya”.

Sahabat, semoga kita termasuk orang-orang yang mencintai kehidupan kita. Agar ketika kita mati nanti, kita bisa tersenyum bangga. Bahwa kita memang telah mempersembahkan yang terbaik ketika hidup di atas dunia.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Mengapa Saya Berhenti Liqo? (II)

Mengenal Gerakan Islam di Indonesia

Mengapa Muhammadiyah?